PENDIDIKAN - Bayangkan sebuah negeri yang pernah bangga dengan keberadaan kelas menengahnya. Sebuah kelas yang menjadi tulang punggung ekonomi, penggerak inovasi, sekaligus penjaga keseimbangan sosial. Namun, kini perlahan-lahan kelas itu lenyap, tergerus oleh sistem yang dirancang dengan cerdik oleh tangan-tangan penguasa politik, ekonomi, dan oligarki. Salah satu instrumen terampuh mereka? Mahalnya biaya kuliah.
Dalam masyarakat yang masih mendewakan pendidikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan, menaikkan biaya kuliah bukan hanya sekadar angka di tabel keuangan universitas. Itu adalah strategi, sebuah cara sistematis untuk mengikis peluang kaum menengah bertahan. Anak-anak kelas menengah, yang orang tuanya telah berjuang mati-matian menyekolahkan mereka hingga SMA, tiba-tiba dihadapkan pada dinding tebal: biaya kuliah yang tak terjangkau. Pilihannya sederhana, berhenti bermimpi atau terjerat utang pendidikan yang menghancurkan masa depan mereka.
Namun, cerita ini tidak berhenti di situ. Mahalnya biaya kuliah juga menciptakan kondisi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Kelas elit—yang terdiri dari dinasti politik dan dinasti oligarki—justru semakin kokoh. Mereka tidak terganggu oleh mahalnya pendidikan, karena mereka memiliki akses ke sekolah-sekolah elite, baik di dalam maupun luar negeri. Ketika mereka kembali, mereka bukan hanya melanjutkan kendali atas kekuasaan, tetapi juga memperkuat cengkeraman mereka atas ekonomi dan politik.
Sementara itu, di sisi lain spektrum sosial, rakyat jelata semakin sulit mengakses pendidikan tinggi. Mereka dipaksa puas dengan pendidikan seadanya, cukup untuk menjadi pekerja upahan yang tunduk pada sistem. Tanpa pendidikan yang layak, mereka kehilangan daya kritis dan menjadi sasaran empuk tipu daya politik. Makan gratis, bansos, dan janji-janji politik kosong menjadi cara ampuh untuk membungkam aspirasi mereka. Dengan strategi ini, penguasa memastikan rakyat tetap bergantung dan mudah dikendalikan.
Kelas menengah, yang seharusnya menjadi jembatan antara kelas bawah dan kelas atas, perlahan terhapus. Dalam sistem yang hanya mengenal dua kelas—elit dan jelata—suara perlawanan semakin kecil. Rakyat jelata terlalu sibuk memikirkan bagaimana bertahan hidup, sementara kelas elit terus menari di atas panggung kekuasaan, menikmati hasil rekayasa sistem yang mereka ciptakan.
Inilah ironi besar negeri ini. Di tengah janji demokrasi dan pemerataan, yang terjadi justru konsentrasi kekuasaan yang semakin terpusat. Mahalnya biaya kuliah hanyalah satu dari sekian banyak alat untuk mencapai tujuan itu. Ketika pendidikan yang seharusnya menjadi jalan keluar justru menjadi tembok penghalang, maka yang tersisa adalah masyarakat yang semakin terpolarisasi: kelas atas yang tak tersentuh dan kelas bawah yang tak berdaya.
Baca juga:
Enam Lapak Di Mataram Dilalap Si Jago Merah
|
Namun, di balik semua ini, ada harapan. Kesadaran kolektif tentang bahaya sistem ini harus terus dibangun. Rakyat perlu memahami bahwa pendidikan adalah hak, bukan barang mewah. Dan selama rakyat masih percaya akan kekuatan perubahan, dinding-dinding ini pasti bisa runtuh. Kelas menengah bisa kembali, bukan sebagai ancaman bagi penguasa, tetapi sebagai penjaga keseimbangan bangsa.
Jakarta, 06 Januari 2025
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi